Kabiro Media Investigasi Online Tanggamus Tegaskan: Pemberitaan Dugaan Penjualan Obat Ilegal Sesuai Kode Etik, Bukan Pidana

- Juni 01, 2025

Tanggamus – Kepala Biro (Kabiro) Media Investigasi Online Tanggamus angkat bicara terkait polemik pemberitaan dugaan penjualan obat keras ilegal oleh seorang warga Pekon Sinar Galih, Kecamatan Ulu Belu, yang disebut bernama Cucu Trinswati. Pemberitaan tersebut sempat mendapat respons negatif dari pihak-pihak yang mengaku sebagai masyarakat, dengan menyebut media bersangkutan melanggar kode etik dan terancam pidana karena mencantumkan nama terduga pelaku.

Melalui pesan WhatsApp, seorang oknum yang mengatasnamakan masyarakat bahkan menyampaikan bahwa media tersebut tidak terdaftar di Dewan Pers, sehingga penyelesaian melalui mekanisme hak jawab dianggap tidak berlaku. Mereka mengklaim kasus ini sudah masuk dalam ranah pidana berdasarkan UU ITE dan KUHP.

Menanggapi tudingan tersebut, Kabiro Media Investigasi Online Tanggamus memberikan penegasan:

> “Kami tegaskan bahwa pemberitaan tersebut disusun dengan tetap mengacu pada Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam berita kami jelas menggunakan kata ‘diduga’, yang merupakan bentuk kehati-hatian kami dalam menyampaikan informasi kepada publik. Nama yang kami sebut pun merupakan identitas yang telah dikenal luas oleh masyarakat sekitar,” ujarnya.

Terkait status keanggotaan media di Dewan Pers, Kabiro menambahkan bahwa hal itu bukan merupakan syarat sah atau tidaknya produk jurnalistik.

> “Media tidak wajib terdaftar di Dewan Pers untuk dapat menjalankan fungsi jurnalistik. Yang penting adalah itikad baik, verifikasi, dan fakta lapangan. Jika ada pihak yang keberatan, kami selalu membuka ruang hak jawab, sesuai mekanisme penyelesaian sebagaimana diatur dalam UU Pers,” tegasnya.

Hingga rilis ini diterbitkan, pihak yang mengaku sebagai masyarakat maupun pihak terduga belum memberikan klarifikasi resmi atau mengajukan hak jawab secara tertulis.

Selain itu, Kabiro juga menyoroti dugaan pelanggaran serius terkait operasional toko obat yang dimaksud. Berdasarkan temuan awal di lapangan, toko tersebut diduga tidak memiliki izin resmi usaha (SIA atau Izin Apotek) maupun tenaga teknis kefarmasian yang sah.

> “Kami mendalami informasi bahwa toko obat tersebut tidak memiliki Surat Izin Apotek maupun bukti bahwa terdapat asisten apoteker yang memiliki izin praktik resmi.

Pemberitaan Berdasar Sumber Terpercaya, Konfirmasi Tetap Dihargai

Kabiro juga menjelaskan bahwa berita pertama kali disusun berdasarkan informasi dari sumber terpercaya dan data di lapangan. Karena ada beberapa kendala teknis, media belum sempat melakukan konfirmasi langsung ke pihak terduga sebelum berita pertama terbit.

> “Setelah berita terbit, kami berusaha menghubungi pihak terduga melalui sambungan telepon guna mengonfirmasi lebih lanjut, namun sayangnya tidak mendapatkan respons sama sekali,” jelas Kabiro.

Ia menegaskan bahwa langkah tersebut tidak melanggar kode etik, mengingat media tetap mencantumkan kata “diduga” sebagai bentuk kehati-hatian dan menjaga asas praduga tak bersalah.

> “Dalam Kode Etik Jurnalistik, prinsip berimbang tetap sah selama upaya konfirmasi telah dilakukan. Tidak responsifnya narasumber tidak menghalangi media untuk menyiarkan informasi yang memiliki kepentingan publik. Yang penting, kami memberi ruang hak jawab jika pihak terduga ingin menyampaikan klarifikasi,” tambahnya.

Sanksi Jika Terbukti Tidak Memiliki Izin Resmi

Apabila benar toko tersebut tidak memiliki izin resmi dan mempekerjakan tenaga kefarmasian tanpa izin, maka hal ini termasuk pelanggaran serius terhadap regulasi di bidang farmasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, disebutkan:

Pasal 197:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Pasal 196:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”

Pasal 108:
“Setiap orang dilarang melakukan praktik kefarmasian tanpa memiliki keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Media Siap Klarifikasi Jika Dugaan Tidak Terbukti

Kabiro Media Investigasi Online Tanggamus juga menyatakan bahwa pihaknya akan bersikap terbuka dan profesional apabila kelak terbukti bahwa toko obat yang diberitakan ternyata memiliki izin usaha resmi serta tenaga kefarmasian yang sah.

> “Sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, kami menjunjung tinggi asas keberimbangan. Jika terbukti bahwa dugaan awal tidak benar, maka kami siap memuat klarifikasi atau hak jawab sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan profesional. Kami tidak bermaksud menghakimi, melainkan menjalankan fungsi kontrol sosial sebagaimana diamanatkan UU Pers,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa penggunaan kata "diduga" dalam berita bukanlah bentuk tuduhan, tetapi bagian dari prinsip kehati-hatian dalam menyampaikan informasi kepada publik.

> “Tujuan kami adalah mendorong transparansi dan kepatuhan terhadap hukum, bukan menyerang pihak tertentu. Justru dengan adanya klarifikasi yang sah, akan membuat publik mendapatkan informasi yang utuh dan akurat,” tambah Kabiro.

Media Investigasi Online Tanggamus menyatakan akan terus mengawal perkembangan kasus dugaan penjualan obat keras ilegal ini bersama LSM Seroja. Tujuannya adalah untuk mendorong penegakan hukum, perlindungan masyarakat, dan edukasi agar praktik penjualan obat-obatan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.

> “Jika memang ada upaya kriminalisasi terhadap jurnalis yang menjalankan tugasnya secara profesional, kami tidak akan tinggal diam. Kami siap menempuh jalur hukum demi menjaga marwah profesi dan kebebasan pers,” pungkas Kabiro.

(Romli)